Senin, 18 Oktober 2010

Kemiskinan: Akar dari Gizi Buruk di Indonesia

I.1 Kemiskinan sebagai Suatu Masalah Sosial

Sebelum meninjau lebih lanjut mengenai kasus gizi buruk, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian masalah sosial. Yang dimaksud dengan masalah sosial adalah permasalahan yang menyangkut nilai-nilai sosial yang mencakup pula segi moral[1]. Karena masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial, maka masalah sosial tidak lepas dari pandangan masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk. Dengan demikian ukuran terhadap apakah suatu permasalahan akan menjadi masalah sosial atau tidak, berkaitan dengan apakah permasalahan tersebut dianggap sebagai suatu masalah oleh masyarakat atau tidak.

Jika dilihat secara lebih lanjut, sebenarnya ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan masalah sosial, yaitu kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis (seperti kemiskinan dan pengangguran), biologis (sepeti penyakit), biopsikologis (seperti penyakit syaraf, bunuh diri, dan disorganisasi jiwa), dan kebudayaan (seperti perceraian, kejahatan, konflik rasial, keagamaan, dan kenakalan anak-anak)[2].

Salah satu bentuk dari masalah sosial adalah kemiskinan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersumber dari faktor ekonomis. Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut[3]. Kemiskinan menjadi suatu masalah sosial karena dalam perkembangan perekonomian sekarang ini, masyarakat menetapkan ukuran taraf hidup tertentu sebagai suatu kebiasaan untuk mengetahui tingkat kekayaan ekonomi seseorang. Dengan demikian, orang yang memiliki pekerjaan dan tidak merasa kekurangan dapat tetap dianggap sebagai orang yang miskin berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan oleh masyarakat disekitarnya.

I.2 Kemiskinan sebagai Akar dari Gizi Buruk di Indonesia

Dari beberapa kasus mengenai gizi buruk, dapat diketahui bahwa sekarang ini penyebaran kasus gizi buruk telah terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, bahkan 4 juta anak Indonesia terancam terkena gizi buruk[4]. Lebih jelasnya berdasarkan Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, dipaparkan bahwa pada periode Januari – Awal Maret, di Rote, NTT tercatat 22 anak menderita gizi buruk. Sementara Dinas Kesehatan NTT menyebutkan jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi mencapai 90.000 orang dari sekitar 497 ribu balita. Sebanyak 12 ribu balita mengalami gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 167 balita mengalami gizi buruk dengan kelainan (busung lapar atau komplikasi marasmus dan kwashiorkor). Sementara 68 ribu balita lainnya mengalami gizi kurang. Pada periode yang sama di Pinrang, Sulsel tercatat 43 kasus, Jember 22 kasus, Trenggalek 31 kasus, Temanggung 229 kasus, Aceh 3 kasus, dan Bekasi 735 kasus[5]. Fakta tersebut menyadarkan bahwa begitu dekatnya anak-anak Indonesia terhadap gizi buruk. Dari ketiga artikel di atas dapat ditarik suatu benang merah mengenai faktor utama penyebab maraknya kasus gizi buruk di Indonesia yaitu “kemiskinan”. Dalam artikel “Gizi Buruk Ancam 4 Juta Anak Indonesia”, menurut ahli gizi anak dari Institut Pretanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan MS, akar dari masalah yang menyebabkan tingginya anak yang menderita kurang gizi, yang mencapai 4 juta adalah kemiskinan. Selanjutnya pada artikel “Kemiskinan dan Perilaku Pemicu Utama Gizi Buruk”, di Bantul, 60% kasus gizi buruk terjadi karena faktor kemiskinan[6]. Kemudian menurut Martianto Drajat dari Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor dalam artikel “BBM Naik, Gizi Buruk Meningkat”[7], sebagai faktor utama yang mempengaruhi status gizi masyarakat adalah kurangnya konsumsi pangan yang menimbulkan turunnya tingkat kesehatan, secara tidak langsung kurangnya konsumsi pangan merupakan akibat dari kemiskinan.

Banyaknya balita yang kekurangan gizi dan kelaparan menjadi permasalahan yang sampai saat ini berusaha diselesaikan oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan. Namun, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, upaya yang dilakukan Pemerintah melalui Departemen Kesehatan tidak signifikan mengurangi angka balita gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2004, sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2006, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun menjadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya berisiko gizi buruk. Pada tahun 2007, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong risiko gizi buruk (Kompas, Senin, 10 Maret 2008). Secara kuantitas masih banyak balita kurang gizi yang belum tersentuh. Sementara secara kualitas, tingkat kehidupan dan kesehatan bayi masih rendah dan rentan[8].

Dengan demikian, data tersebut menegaskan masih sulitnya pemerintah mengatasi masalah gizi buruk, selama masih ada kemiskinan di Indonesia.

1.3 Gizi Buruk sebagai Masalah Sosial

Seperti penjelasan di atas, faktor utama penyebab gizi buruk di Indonesia adalah kemiskinan. Selama kemiskinan masih akrab di Indonesia, maka kasus gizi buruk akan sangat sulit dihilangkan. Hal ini disebabkan karena bagi masyarakat miskin, pola makanan mereka sangat tergantung pada uang yang mereka miliki, tak jarang mereka tidak makan sama sekali, pada akhirnya anak-anak merekalah yang menjadi korban karena tidak mendapat asupan gizi yang sangat penting bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka. Selain itu lingkungan mereka juga sangat mempengaruhi. Bila seorang anak tinggal di lingkungan masyarakat miskin yang tidak memperhatikan kebersihan lingkungan, bukan tidak mungkin kesehatan anak tersebut akan terganggu. Bahkan kesehatan si Ibu juga dapat terganggu dan akhirnya mempengaruhi air susu nya yang seharusnya menjadi makanan utama yang paling sehat bagi bayinya.

Kemiskinan memang menjadi suatu masalah sosial di Indonesia. Terutama karena seiring perkembangan zaman, masyarakat sudah semakin memiliki ukuran untuk menentukan apakah dirinya kaya atau miskin, sehingga masyarakat Indonesia telah menentukan perbedaan kedudukan ekonomis secara tegas. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap maraknya kasus gizi buruk di Indonesia. Ketika masyarakat sadar akan kedudukan ekonominya dan merasa bahwa ia termasuk kelompok masyarakat miskin, ia menjadi tidak terlalu peduli terhadap kesehatan makanan bagi keluarganya termasuk untuk anak-anaknya. Yang terpenting bagi mereka adalah dengan uang yang mereka dapatkan, mereka masih dapat makan walaupun makanan itu tidak memenuhi standar gizi. Banyaknya keluarga miskin yang memiliki pola pikir seperti itu mengakibatkan semakin banyaknya kasus gizi buruk yang menimpa anak-anak, terutama balita. Dengan semakin banyaknya kasus ini, masyarakat Indonesia mulai memiliki ukuran tentang bagaimana seharusnya memberikan kebutuhan gizi yang terbaik bagi anak dan mulai menganggap bahwa sikap dan pola hidup keluarga miskin yang tidak terlalu memperhatikan gizi anak merupakan pola hidup yang tidak baik. Gizi buruk kemudian menjadi suatu masalah sosial yang lahir karena kemiskinan dan mulai menarik perhatian masyarakat Indonesia.

Karena masalah sosial ini selalu terjadi setiap tahunnya, Pemerintah dengan bekerja sama dengan Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai mencari solusi dan menetapkan berbagai program untuk mengatasi masalah ini, antara lain:

a. memberdayakan posyandu-posyandu di seluruh provinsi di tanah air untuk memberikan penyuluhan dan memberikan makanan pendamping ASI bagi balita, terutama balita berusia 6 sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Dengan demikian posyandu menjadi perpanjangan tangan dari Departemen Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat[9].

b. meningkatkan perawatan kasus gizi buruk di Rumah Sakit sesuai prosedur yakni mengatasi keadaan kritis, mengobati penyebab penyakit, dan menaikkan berat badan[10].

c. melakukan operasi sadar gizi dan keluarga berkualitas secara swadaya (Desa Siaga). Menimbang seluruh balita tanpa terkecuali, tetapkan status gizinya, laporkan secara berjenjang dengan jujur, bagi balita yang mengalami gizi buruk segera lakukan reelementasi dengan pemulihan di fasilitas kesehatan terdekat, dan bila sudah pulih, dikembalikan kepada masyarakat melalui kader posyandu, bidan desa, dan puskesmas[11].

Bila program-program tersebut dilaksanakan secara teratur dan benar-benar diterapkan, bukan tidak mungkin kasus gizi buruk akan semakin kecil hingga nantinya masyarakat tidak menganggap masalah ini menjadi suatu masalah sosial di Indonesia.

Bagaimanapun, anak-anak adalah generasi Indonesia di masa yang akan datang. Bila anak-anak Indonesia banyak yang terkena gizi buruk bahkan sampai meninggal, siapa yang akan memperbaiki negeri ini di masa yang akan datang.



[1] Soerjono Soekanto, “Sosiologi: Suatu Pengantar”. Ed. Baru.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 310

[2] Ibid, hlm. 314

[3] Ibid, hlm. 320

[4] Yurnaldi, “Gizi Buruk Ancam 4 Juta Anak Indonesia”. (http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/22340095/gizi.buruk.ancam.4.juta.anak.indonesia, 11/29/2008 3:36 PM)

[5] Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, “Lingkaran Setan Gizi Buruk: Ketika Negara Kembali Gagal Menjamin Hak Hidup Anak-Anak”. http://www.ypha.or.id/files/Lingkaran_setan.pdf (Jakarta: 2008)

[6] Eny, “Kemiskinan dan Perilaku Pemicu Utama Gizi Buruk”, (http://www.kompas.com/read/xml/2008/04/13/18224188/kemiskinan.dan.perilaku.pemicu.utama.gizi.buruk, 11/29/2008 3:35 PM)

[7] Evy Rachmawati, “BBM Naik, Gizi Buruk Meningkat”, (http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/03/22105846/bbm.naik.gizi.buruk.meningkat, 11/29/2008 3:37 PM )

[8] Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, Op.Cit

[9] Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, SpGK. “Kontroversi seputar gizi buruk :Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?”. http://www.gizi.net/makalah/Kontroversi-giziburuk-column.pdf (Makassar: 2008)

[10] Evy Rachmawati, Op.Cit

[11] Yurnaldi, Op.Cit

1 komentar: