I.1 Kemiskinan sebagai Suatu Masalah Sosial
Sebelum meninjau lebih lanjut mengenai kasus gizi buruk, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian masalah sosial. Yang dimaksud dengan masalah sosial adalah permasalahan yang menyangkut nilai-nilai sosial yang mencakup pula segi moral[1]. Karena masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial, maka masalah sosial tidak lepas dari pandangan masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk. Dengan demikian ukuran terhadap apakah suatu permasalahan akan menjadi masalah sosial atau tidak, berkaitan dengan apakah permasalahan tersebut dianggap sebagai suatu masalah oleh masyarakat atau tidak.
Jika dilihat secara lebih lanjut, sebenarnya ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan masalah sosial, yaitu kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis (seperti kemiskinan dan pengangguran), biologis (sepeti penyakit), biopsikologis (seperti penyakit syaraf, bunuh diri, dan disorganisasi jiwa), dan kebudayaan (seperti perceraian, kejahatan, konflik rasial, keagamaan, dan kenakalan anak-anak)[2].
Salah satu bentuk dari masalah sosial adalah kemiskinan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersumber dari faktor ekonomis. Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut[3]. Kemiskinan menjadi suatu masalah sosial karena dalam perkembangan perekonomian sekarang ini, masyarakat menetapkan ukuran taraf hidup tertentu sebagai suatu kebiasaan untuk mengetahui tingkat kekayaan ekonomi seseorang. Dengan demikian, orang yang memiliki pekerjaan dan tidak merasa kekurangan dapat tetap dianggap sebagai orang yang miskin berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan oleh masyarakat disekitarnya.
I.2 Kemiskinan sebagai Akar dari Gizi Buruk di Indonesia
Dari beberapa kasus mengenai gizi buruk, dapat diketahui bahwa sekarang ini penyebaran kasus gizi buruk telah terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, bahkan 4 juta anak Indonesia terancam terkena gizi buruk[4]. Lebih jelasnya berdasarkan Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, dipaparkan bahwa pada periode Januari – Awal Maret, di Rote, NTT tercatat 22 anak menderita gizi buruk. Sementara Dinas Kesehatan NTT menyebutkan jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi mencapai 90.000 orang dari sekitar 497 ribu balita. Sebanyak 12 ribu balita mengalami gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 167 balita mengalami gizi buruk dengan kelainan (busung lapar atau komplikasi marasmus dan kwashiorkor). Sementara 68 ribu balita lainnya mengalami gizi kurang. Pada periode yang sama di Pinrang, Sulsel tercatat 43 kasus, Jember 22 kasus, Trenggalek 31 kasus, Temanggung 229 kasus, Aceh 3 kasus, dan Bekasi 735 kasus[5]. Fakta tersebut menyadarkan bahwa begitu dekatnya anak-anak
Banyaknya balita yang kekurangan gizi dan kelaparan menjadi permasalahan yang sampai saat ini berusaha diselesaikan oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan. Namun, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, upaya yang dilakukan Pemerintah melalui Departemen Kesehatan tidak signifikan mengurangi angka balita gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2004, sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2006, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun menjadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya berisiko gizi buruk. Pada tahun 2007, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong risiko gizi buruk (Kompas, Senin, 10 Maret 2008). Secara kuantitas masih banyak balita kurang gizi yang belum tersentuh. Sementara secara kualitas, tingkat kehidupan dan kesehatan bayi masih rendah dan rentan[8].
Dengan demikian, data tersebut menegaskan masih sulitnya pemerintah mengatasi masalah gizi buruk, selama masih ada kemiskinan di Indonesia.
1.3 Gizi Buruk sebagai Masalah Sosial
Seperti penjelasan di atas, faktor utama penyebab gizi buruk di
Kemiskinan memang menjadi suatu masalah sosial di
Karena masalah sosial ini selalu terjadi setiap tahunnya, Pemerintah dengan bekerja sama dengan Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai mencari solusi dan menetapkan berbagai program untuk mengatasi masalah ini, antara lain:
a. memberdayakan posyandu-posyandu di seluruh provinsi di tanah air untuk memberikan penyuluhan dan memberikan makanan pendamping ASI bagi balita, terutama balita berusia 6 sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Dengan demikian posyandu menjadi perpanjangan tangan dari Departemen Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat[9].
b. meningkatkan perawatan kasus gizi buruk di Rumah Sakit sesuai prosedur yakni mengatasi keadaan kritis, mengobati penyebab penyakit, dan menaikkan berat badan[10].
c. melakukan operasi sadar gizi dan keluarga berkualitas secara swadaya (Desa Siaga). Menimbang seluruh balita tanpa terkecuali, tetapkan status gizinya, laporkan secara berjenjang dengan jujur, bagi balita yang mengalami gizi buruk segera lakukan reelementasi dengan pemulihan di fasilitas kesehatan terdekat, dan bila sudah pulih, dikembalikan kepada masyarakat melalui kader posyandu, bidan desa, dan puskesmas[11].
Bila program-program tersebut dilaksanakan secara teratur dan benar-benar diterapkan, bukan tidak mungkin kasus gizi buruk akan semakin kecil hingga nantinya masyarakat tidak menganggap masalah ini menjadi suatu masalah sosial di Indonesia.
Bagaimanapun, anak-anak adalah generasi
[1] Soerjono Soekanto, “Sosiologi: Suatu Pengantar”. Ed. Baru.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 310
[2] Ibid, hlm. 314
[3] Ibid, hlm. 320
[4] Yurnaldi, “Gizi Buruk Ancam 4 Juta Anak Indonesia”. (http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/22340095/gizi.buruk.ancam.4.juta.anak.indonesia, 11/29/2008 3:36 PM)
[5] Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, “Lingkaran Setan Gizi Buruk: Ketika Negara Kembali Gagal Menjamin Hak Hidup Anak-Anak”. http://www.ypha.or.id/files/Lingkaran_setan.pdf (
[6] Eny, “Kemiskinan dan Perilaku Pemicu Utama Gizi Buruk”, (http://www.kompas.com/read/xml/2008/04/13/18224188/kemiskinan.dan.perilaku.pemicu.utama.gizi.buruk, 11/29/2008 3:35 PM)
[7] Evy Rachmawati, “BBM Naik, Gizi Buruk Meningkat”, (http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/03/22105846/bbm.naik.gizi.buruk.meningkat, 11/29/2008 3:37 PM )
[8] Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, Op.Cit
[9] Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, SpGK. “Kontroversi seputar gizi buruk :Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?”. http://www.gizi.net/makalah/Kontroversi-giziburuk-column.pdf (
[10] Evy Rachmawati, Op.Cit
[11] Yurnaldi, Op.Cit
