Senin, 18 Oktober 2010

Kemiskinan: Akar dari Gizi Buruk di Indonesia

I.1 Kemiskinan sebagai Suatu Masalah Sosial

Sebelum meninjau lebih lanjut mengenai kasus gizi buruk, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian masalah sosial. Yang dimaksud dengan masalah sosial adalah permasalahan yang menyangkut nilai-nilai sosial yang mencakup pula segi moral[1]. Karena masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial, maka masalah sosial tidak lepas dari pandangan masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk. Dengan demikian ukuran terhadap apakah suatu permasalahan akan menjadi masalah sosial atau tidak, berkaitan dengan apakah permasalahan tersebut dianggap sebagai suatu masalah oleh masyarakat atau tidak.

Jika dilihat secara lebih lanjut, sebenarnya ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan masalah sosial, yaitu kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis (seperti kemiskinan dan pengangguran), biologis (sepeti penyakit), biopsikologis (seperti penyakit syaraf, bunuh diri, dan disorganisasi jiwa), dan kebudayaan (seperti perceraian, kejahatan, konflik rasial, keagamaan, dan kenakalan anak-anak)[2].

Salah satu bentuk dari masalah sosial adalah kemiskinan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersumber dari faktor ekonomis. Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut[3]. Kemiskinan menjadi suatu masalah sosial karena dalam perkembangan perekonomian sekarang ini, masyarakat menetapkan ukuran taraf hidup tertentu sebagai suatu kebiasaan untuk mengetahui tingkat kekayaan ekonomi seseorang. Dengan demikian, orang yang memiliki pekerjaan dan tidak merasa kekurangan dapat tetap dianggap sebagai orang yang miskin berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan oleh masyarakat disekitarnya.

I.2 Kemiskinan sebagai Akar dari Gizi Buruk di Indonesia

Dari beberapa kasus mengenai gizi buruk, dapat diketahui bahwa sekarang ini penyebaran kasus gizi buruk telah terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, bahkan 4 juta anak Indonesia terancam terkena gizi buruk[4]. Lebih jelasnya berdasarkan Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, dipaparkan bahwa pada periode Januari – Awal Maret, di Rote, NTT tercatat 22 anak menderita gizi buruk. Sementara Dinas Kesehatan NTT menyebutkan jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi mencapai 90.000 orang dari sekitar 497 ribu balita. Sebanyak 12 ribu balita mengalami gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 167 balita mengalami gizi buruk dengan kelainan (busung lapar atau komplikasi marasmus dan kwashiorkor). Sementara 68 ribu balita lainnya mengalami gizi kurang. Pada periode yang sama di Pinrang, Sulsel tercatat 43 kasus, Jember 22 kasus, Trenggalek 31 kasus, Temanggung 229 kasus, Aceh 3 kasus, dan Bekasi 735 kasus[5]. Fakta tersebut menyadarkan bahwa begitu dekatnya anak-anak Indonesia terhadap gizi buruk. Dari ketiga artikel di atas dapat ditarik suatu benang merah mengenai faktor utama penyebab maraknya kasus gizi buruk di Indonesia yaitu “kemiskinan”. Dalam artikel “Gizi Buruk Ancam 4 Juta Anak Indonesia”, menurut ahli gizi anak dari Institut Pretanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan MS, akar dari masalah yang menyebabkan tingginya anak yang menderita kurang gizi, yang mencapai 4 juta adalah kemiskinan. Selanjutnya pada artikel “Kemiskinan dan Perilaku Pemicu Utama Gizi Buruk”, di Bantul, 60% kasus gizi buruk terjadi karena faktor kemiskinan[6]. Kemudian menurut Martianto Drajat dari Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor dalam artikel “BBM Naik, Gizi Buruk Meningkat”[7], sebagai faktor utama yang mempengaruhi status gizi masyarakat adalah kurangnya konsumsi pangan yang menimbulkan turunnya tingkat kesehatan, secara tidak langsung kurangnya konsumsi pangan merupakan akibat dari kemiskinan.

Banyaknya balita yang kekurangan gizi dan kelaparan menjadi permasalahan yang sampai saat ini berusaha diselesaikan oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan. Namun, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, upaya yang dilakukan Pemerintah melalui Departemen Kesehatan tidak signifikan mengurangi angka balita gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2004, sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2006, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun menjadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya berisiko gizi buruk. Pada tahun 2007, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong risiko gizi buruk (Kompas, Senin, 10 Maret 2008). Secara kuantitas masih banyak balita kurang gizi yang belum tersentuh. Sementara secara kualitas, tingkat kehidupan dan kesehatan bayi masih rendah dan rentan[8].

Dengan demikian, data tersebut menegaskan masih sulitnya pemerintah mengatasi masalah gizi buruk, selama masih ada kemiskinan di Indonesia.

1.3 Gizi Buruk sebagai Masalah Sosial

Seperti penjelasan di atas, faktor utama penyebab gizi buruk di Indonesia adalah kemiskinan. Selama kemiskinan masih akrab di Indonesia, maka kasus gizi buruk akan sangat sulit dihilangkan. Hal ini disebabkan karena bagi masyarakat miskin, pola makanan mereka sangat tergantung pada uang yang mereka miliki, tak jarang mereka tidak makan sama sekali, pada akhirnya anak-anak merekalah yang menjadi korban karena tidak mendapat asupan gizi yang sangat penting bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka. Selain itu lingkungan mereka juga sangat mempengaruhi. Bila seorang anak tinggal di lingkungan masyarakat miskin yang tidak memperhatikan kebersihan lingkungan, bukan tidak mungkin kesehatan anak tersebut akan terganggu. Bahkan kesehatan si Ibu juga dapat terganggu dan akhirnya mempengaruhi air susu nya yang seharusnya menjadi makanan utama yang paling sehat bagi bayinya.

Kemiskinan memang menjadi suatu masalah sosial di Indonesia. Terutama karena seiring perkembangan zaman, masyarakat sudah semakin memiliki ukuran untuk menentukan apakah dirinya kaya atau miskin, sehingga masyarakat Indonesia telah menentukan perbedaan kedudukan ekonomis secara tegas. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap maraknya kasus gizi buruk di Indonesia. Ketika masyarakat sadar akan kedudukan ekonominya dan merasa bahwa ia termasuk kelompok masyarakat miskin, ia menjadi tidak terlalu peduli terhadap kesehatan makanan bagi keluarganya termasuk untuk anak-anaknya. Yang terpenting bagi mereka adalah dengan uang yang mereka dapatkan, mereka masih dapat makan walaupun makanan itu tidak memenuhi standar gizi. Banyaknya keluarga miskin yang memiliki pola pikir seperti itu mengakibatkan semakin banyaknya kasus gizi buruk yang menimpa anak-anak, terutama balita. Dengan semakin banyaknya kasus ini, masyarakat Indonesia mulai memiliki ukuran tentang bagaimana seharusnya memberikan kebutuhan gizi yang terbaik bagi anak dan mulai menganggap bahwa sikap dan pola hidup keluarga miskin yang tidak terlalu memperhatikan gizi anak merupakan pola hidup yang tidak baik. Gizi buruk kemudian menjadi suatu masalah sosial yang lahir karena kemiskinan dan mulai menarik perhatian masyarakat Indonesia.

Karena masalah sosial ini selalu terjadi setiap tahunnya, Pemerintah dengan bekerja sama dengan Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai mencari solusi dan menetapkan berbagai program untuk mengatasi masalah ini, antara lain:

a. memberdayakan posyandu-posyandu di seluruh provinsi di tanah air untuk memberikan penyuluhan dan memberikan makanan pendamping ASI bagi balita, terutama balita berusia 6 sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Dengan demikian posyandu menjadi perpanjangan tangan dari Departemen Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat[9].

b. meningkatkan perawatan kasus gizi buruk di Rumah Sakit sesuai prosedur yakni mengatasi keadaan kritis, mengobati penyebab penyakit, dan menaikkan berat badan[10].

c. melakukan operasi sadar gizi dan keluarga berkualitas secara swadaya (Desa Siaga). Menimbang seluruh balita tanpa terkecuali, tetapkan status gizinya, laporkan secara berjenjang dengan jujur, bagi balita yang mengalami gizi buruk segera lakukan reelementasi dengan pemulihan di fasilitas kesehatan terdekat, dan bila sudah pulih, dikembalikan kepada masyarakat melalui kader posyandu, bidan desa, dan puskesmas[11].

Bila program-program tersebut dilaksanakan secara teratur dan benar-benar diterapkan, bukan tidak mungkin kasus gizi buruk akan semakin kecil hingga nantinya masyarakat tidak menganggap masalah ini menjadi suatu masalah sosial di Indonesia.

Bagaimanapun, anak-anak adalah generasi Indonesia di masa yang akan datang. Bila anak-anak Indonesia banyak yang terkena gizi buruk bahkan sampai meninggal, siapa yang akan memperbaiki negeri ini di masa yang akan datang.



[1] Soerjono Soekanto, “Sosiologi: Suatu Pengantar”. Ed. Baru.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 310

[2] Ibid, hlm. 314

[3] Ibid, hlm. 320

[4] Yurnaldi, “Gizi Buruk Ancam 4 Juta Anak Indonesia”. (http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/22340095/gizi.buruk.ancam.4.juta.anak.indonesia, 11/29/2008 3:36 PM)

[5] Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, “Lingkaran Setan Gizi Buruk: Ketika Negara Kembali Gagal Menjamin Hak Hidup Anak-Anak”. http://www.ypha.or.id/files/Lingkaran_setan.pdf (Jakarta: 2008)

[6] Eny, “Kemiskinan dan Perilaku Pemicu Utama Gizi Buruk”, (http://www.kompas.com/read/xml/2008/04/13/18224188/kemiskinan.dan.perilaku.pemicu.utama.gizi.buruk, 11/29/2008 3:35 PM)

[7] Evy Rachmawati, “BBM Naik, Gizi Buruk Meningkat”, (http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/03/22105846/bbm.naik.gizi.buruk.meningkat, 11/29/2008 3:37 PM )

[8] Pernyataan Pers Yayasan Pemantau Hak Anak (YPAH) No. 01/SP/YPHA/I/2008, Op.Cit

[9] Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, SpGK. “Kontroversi seputar gizi buruk :Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan?”. http://www.gizi.net/makalah/Kontroversi-giziburuk-column.pdf (Makassar: 2008)

[10] Evy Rachmawati, Op.Cit

[11] Yurnaldi, Op.Cit

Kamis, 20 Mei 2010

Cuma mau nulis...

Hari ini abis ujian perbankan..dari empat nomor, semua nya kejawab sih, tapi buat no. 2 & 5 ga lengkap jawabannya..huhu..
itu gara2 gw ga bawa penjelasan dari UU BI dan ga ngeprint slide kuliah terakhir, padahal gw udah feeling sih, kayaknya tuh kuliah terakhir bakal jadi soal, tapi karena gw ga sempet nyari slide terakhir itu, yasuw lah..apa mau di kata..haha..

Oya..hari ini juga ada briefing buat pengawas UMB, gw dapet di SMP 4 Jakarta..nah lho..dimana pula tuh sekolah, mana gw ga taw daerah jakarta pusat pula, haha..dodol dah..berarti besok mesti nyari2 nih..@_@

wuzz..mana besok ujian pula dan sekarang gw masih terjebak di kampus coz ujan lagi deres banget, hyakz..alhamdulillah besok open book, wehehehe..semoga aja gw masih bisa ngerjain dengan benar, hehe..

hmmft..ujan-ujan gini jadi inget sama bantal dan guling qu tercinta di rumah nih..huaaaaaaaaaaa..love u all guys..hehehe..>0<

udah ah..dodol banget sih mikirin tidur mulu..masih UAS nih neng, ck3..
tapi beneran deh..setiap uas pasti kritis waktu buat tidur, haha..sistem kejar semalam sih, hehe..
tapi walaupun gw udah mulai mengurangi sistem ini, tetep aja pasti butuh ngulang2 materi n karena materinya banyak, jadi bisa mpe begadang n bangun lagi jam3 pagi deh..

aih..
(ngeluh ga jelas, haha..)

udah ah..posting gw aneh banget sih, haha..absurd (klo pake istilah temen gw yang bernama ausire...xp)

Rabu, 05 Mei 2010

Universal banking vs Specialized banking

Ada beberapa perbedaan mendasar antara dua sistem perbankan yang dikenal dunia, yaitu universal banking dan specialized banking. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara kedua sistem tersebut:

1. Sekup/lingkup Kegiatan Ekonomi

- Universal Banking:

Universal Banking mendapatkan keuntungan yang lebih dari luas usaha/kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Semakin luas jumlah kegiatan ekonomi atau investasi yang dilakukannya, maka semakin besar efektivitas dari bank tersebut. Keuntungan juga diperoleh dari pembagian hasil yang didapatkan dari setiap unit usaha yang berbeda dalam bank tersebut.

- Specialized Banking:

Pada intinya, specialized banking menawarkan pelayanan berkualitas dengan pengalaman yang sudah cukup lama dalam suatu usaha/kegiatan perbankan tertentu, sehingga bank tipe ini lebih concern terhadap bagaimana menjaga reputasi dan memberikan pelayanan yang excellent kepada customer[1].

1. Financial Services

- Universal Banking:

Universal Banking menjadi one-stop supplier untuk berbagai jasa keuangan, dengan demikian Universal Banking memiliki kesempatan besar untuk memuaskan kebutuhan keuangan dari banyak perusahaan. Banyaknya jasa yang ditawarkan menjadikan Universal Banking memiliki lebih banyak customer dibandingkan Specialized Banking, sehingga jangkauan Universal Banking lebih luas dari Specialized Banking.

- Specialized Banking:

Karena hanya melayani suatu jasa perbankan tertentu, Specialized Banking menjadi bank yang memberikan pelayanan khusus suatu jasa tertentu secara maksimal dan menjadi bank yang memiliki reputasi terkenal untuk suatu jasa peerbankan yang ditawarkannya. Selain itu, Specialized Banking dapat mengantisipasi setiap perubahan dari permintaan dari pelayanan yang mereka tawarkan dan memanajemen setiap perubahan permintaan untuk masa yang akan datang. Dengan demikian, Specialized Banking dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan kemungkinan kerugian yang dapat terjadi. Namun sebaliknya, jika mereka tidak mampu memanajemen kemungkinan tersebut, maka kemungkinan kehancuran bank tersebut lebih besar dibandingkan Universal Banking[2].

2. Eksistensi Bank

- Universal Banking:

Universal Banking eksis karena manajemen dari berbagai pelayanan jasa keuangan yang mereka tawarkan lebih efektif dan terkonstruksi dengan baik.

- Specialized Banking:

Specialized Banking eksis karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan fungsi intermediari melalui perusahaan lebih kecil dibandingkan jika fungsi ini dijalankan dalam pasar terbuka[3].

Indonesia menganut sistem perbankan apa?

Indonesia menganut Universal Banking dengan masih memungkinkan dilakukannya kegiatan keuangan dalam Specialized Banking. Hal ini berlaku sejak UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang mengatur bahwa Bank di Indonesia masih dapat bergerak di sektor keuangan lain selain sektor perbankan. Namun demikian, masih ada pembatasan dalam melakukan kegiatan usahanya, yaitu Bank masih dilarang mengikuti jual beli saham dan pemberian kredit di pasar modal kecuali pemberian modal kepada perusahaan sekuritas.



[1] Jordi Canals, Universal Banking: International Comparisons and Theoretical Perspectives, (New York: Oxford University Press, 1997), hlm. 103

[2] Ibid., hlm. 105-106

[3] Ibid., hlm. 115

Divestasi Asing dalam UU Minerba

UU Mineral dan Batu Bara No. 4 Tahun 2009 yang mengubah UU No. 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan mengatur beberapa perubahan kebijakan yang berpengaruh bagi investai di Indonesia, khususnya investasi dalam sektor pertambangan. Salah satu perubahan kebijakan tersebut adalah pengaturan mengenai divestasi saham bagi badan usaha pemegang IUP dan IUPK asing (Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009).

Divestasi yang dimaksud dalam pasal ini ialah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia, baik Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Divestasi ini diwajibkan setelah perusahaan asing tersebut beroperasi 5 tahun. Minimal saham yang harus didivestasikan adalah 20% dari total saham yang dimiliki perusahaan asing tersebut (Pasal 97 PP No. 23 Tahun 2010).

Namun kemudian timbul pertanyaan yang menggelitik dari kewajiban divestasi tersebut. Apakah divestasi ini wajib dilakukan oleh setiap perusahaan asing yang memiliki IUP dan IUPK dan telah beroperasi 5 tahun di Indonesia, baik melalui penanaman modal langsung dan penanaman modal tidak langsung?atau kah hanya mengikat bagi perusahaan asing yang masuk ke Indonesia melalui penanaman modal langsung?Perbedaan sistem penanaman modal (investasi) ini sangat berpengaruh, sehingga perlu untuk diperjelas, sistem manakah yang terikat dengan kewajiban divestasi ini?

Dalam UU Mineral dan Batu Bara memang tidak dinyatakan secara jelas mengenai saham asing yang berasal dari penanaman modal langsung atau dari penanaman modal tidak langsung kah yang diwajibkan untuk melakukan divestasi saham. Namun apabila diperhatikan, dalam konsep penanaman modal tidak langsung yang dilakukan melalui Pasar Modal tidak ada pembedaan mengenai penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri, sehingga tidak ada batas kepemilikan saham asing dan saham dalam negeri dalam suatu perusahaan publik (PT Terbuka) melalui bursa/Pasar Modal. Apabila dalam ketentuan Undang-Undang Pasar Modal tidak diatur mengenai batas kepemilikan saham asing pada suatu perusahaan publik, maka kewajiban divestasi saham asing minimal 20% kepada pihak Indonesia dalam Undang-Undang Minerba jelas sekali bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dengan demikian, maka bukan kah berarti aturan mengenai divestasi saham tersebut tidak dapat diterapkan pada modal asing yang masuk ke PT Terbuka melalui Pasar Modal?

Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Pasar Modal adalah dua ketentuan perundang-undangan yang berbeda dan tidak terikat satu sama lain. Undang-Undang Minerba bukanlah lex spesialis dari Undang-Undang Pasar Modal, karena jelas sekali dalam bagian “Menimbang” ataupun “Mengingat” Undang-Undang Minerba tidak tertulis adanya Undang-Undang Pasar Modal, padahal menurut Prof. Maria Indrati S. (Hakim Mahkamah Konstitusi dan juga Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan di FH UI), bagian “Menimbang” dan “Mengingat” menunjukkan rujukan dari ketentuan suatu undang-undang[1]. Dengan demikian, apabila ketentuan dalam Undang-undang Minerba ada yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Pasar Modal, tidak dapat dikatakan bahwa lex spesialis derogat lex generalis (aturan hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan aturan hukum yang bersifat umum), karena memang tidak ada hubungan lex spesialis dan lex generalis antara Undang-Undang Minerba dengan Undang-Undang Pasar Modal.

Dari keterangan tersebut, maka ketika aturan mengenai kewajiban divestasi saham asing dalam Undang-Undang Minerba bertentangan dengan hakikat dalam Undang-Undang Pasar Modal yang tidak membatasi kepemilikan saham asing pada perusahaan publik yang masuk melalui Pasar Modal, maka aturan kewajiban divestasi tersebut tidak dapat berlaku bagi saham asing yang masuk melalui Pasar Modal (aturan kewajiban divestasi tidak dapat mengeyampingkan bahwa dalam Pasar Modal tidak ada pembatasan mengenai besarnya saham asing yang masuk pada suatu perusahaan terbuka/publik melalui bursa).

Aturan mengenai kewajiban divestasi saham asing dalam Undang-Undang Minerba pada dasarnya hanya berlaku bagi penanaman modal asing secara langsung yang diatur oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini disebabkan karena dalam ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal tersebut memang diatur mengenai pembatasan terhadap saham asing yang masuk ke Indonesia secara langsung (foreign direct investment). Pengaturan mengenai pembatasan sektor usaha yang tidak boleh dimasuki oleh asing atau yang dapat dimasuki oleh asing dengan batas kepemilikan tertentu tersebut, diatur dalam Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 atau yang lebih sering dikenal dengan Daftar Negatif Investasi. Adanya Daftar Negatif Investasi yang diatur sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Penanaman Modal ini memiliki hakikat atau tujuan yang sama dengan kewajiban divestasi saham asing dalam Undang-Undang Minerba, yaitu pembatasan terhadap saham asing yang masuk ke Indonesia.



[1] R. Valentina Napitipulu dan Lidia Hayati, ”Daftar Negatif Investasi” dalam Buku Ajar Hukum Investasi dan Pembangunan, oleh Erman Radjagukguk et.al., (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hlm. 89.

Selasa, 13 April 2010

Perlukah Investasi Asing di Indonesia??

Saya beberapa kali terlibat diskusi yang cukup panjang berkaitan dengan investasi asing di Indonesia. Beberapa teman diskusi saya berpendapat bahwa Indonesia sebenarnya tidak terlalu memerlukan investasi asing, tapi karena Indonesia telah terlalu lama bergantung pada investasi asing, maka sampai sekarangpun Indonesia terkesan tidak mampu "berdiri sendiri" tanpa adanya investasi asing.
Dalam diskusi tersebut, biasanya saya tersenyum sambil berpikir..
"ah..mungkin ni orang belum belajar Hukum Investasi sama Prof. Erman", hehe..
Sebenarnya, apakah pendapat teman-teman saya itu benar atau tidak tergantung dari perspektif mana kita melihat. Teman-teman saya biasanya menggunakan alasan yang agak "sosialis" untuk mempertahankan opini mereka, yaitu dengan banyaknya jumlah masyarakat Indonesia, seharusnya investasi itu bisa berasal dari dalam negeri saja dan digunakan untuk kepentingan dalam negeri juga, jadi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Prinsip yang sangat bagus menurut saya.
Akan tetapi, apakah prinsip tersebut dapat diterapkan pada kondisi kekinian??
Ini yang menjadi persoalan. Bukannya saya berlagak menjadi seorang kapitalis atau liberalis yang terkesan mendukung investasi asing sebesar-besarnya, tetapi kita perlu melihat, alasan apa yang mendasari kebutuhan Indonesia terhadap investasi asing.
Saya langsung merujuk pada tulisan Prof. Erman Radjagukguk dalam buku Hukum Investasi dan Pembangunan yang merupakan reading material untuk mata kuliah Hukum Investasi dan Swasta Pembangunan.
Dalam tulisan beliau tentang "mengapa Indonesia butuh investasi asing", ada beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan investasi asing, yaitu:
a. Memperluas Lapangan Kerja
Ada lebih dari 230 juta jiwa penduduk di Indonesia dan 10% diantaranya merupakan pengangguran (http://tangerangonline.com/berita/metro/2009/11/12/tahun_2010_angka_pengangguran_di_indonesia_ masih_10_persen), dapat dibayangkan berapa banyak pengangguran di Indonesia. Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya untuk memperluas lapangan kerja di Indonesia, salah satu cara yang paling efektif adalah melalui investasi asing. Dengan adanya investasi asing dengan modal yang besar, akan banyak perusahaan-perusahaan yang dibangun dan membutuhkan tenaga kerja yang cukup besar, sehingga akan dengan cepat menyerap tenaga kerja Indonesia, apalagi dengan adanya peraturan yang melarang penggunaan tenaga kerja asing dalam berbagai bidang pekerjaan. Dengan semakin terbukanya lapangan kerja ini, maka akan semakin banyak rakyat yang berpenghasilan, sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia baik karena semakin banyak wajib pajak; naiknya pendapatan perkapita; maupun pertumbuhan ekonomi yang berasal dari semakin banyaknya rakyat yang menabung di bank, sehingga akan memperbanyak dana yang terhimpun dalam perbankan untuk kemudian digunakan kembali dalam berbagai sektor ekonomi dan pembangunan.
b. Alih teknologi
Dengan masuknya investasi asing ke Indonesia akan memperkaya wawasan teknologi rakyat Indonesia, kenapa?karena tentunya investor-investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia akan menggunakan alat-alat teknologi yang canggih dalam operasi perusahaannya untuk melakukan efisiensi dan efektivitas produksi. Dengan adanya kewajiban alih teknologi bagi perusahaan-perusahaan asing tersebut , Indonesia akan membayar royalti atas alih tekonologi itu untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan produksi dalam negeri. Nah..coba dibayangkan, mungkin Indonesia akan butuh waktu yang lebih lama untuk membuat sendiri teknologi tersebut, namun dengan adanya alih teknologi dari investor asing ini akan mempercepat kemajuan tekonologi produksi di Indonesia dan mungkin juga Indonesia justru akan mampu mengembangkan tekonologi baru dari tekonologi yang dibawa oleh investor asing tersebut.
c. Pemberdayaan daerah tertinggal
Tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan di indonesia belum merata ke seluruh daerah, terutama daerah-daerah pelosok yang tertinggal. Masih banyak daerah yang masih sangat tradisional dan belum mendapat fasilitas listrik, akses jalan ke daerah lain apalagi teknologi. Padahal di daerah-daerah tersebut sangat mungkin terdapat sumber daya alam yang melimpah ruah dan belum tersentuh oleh Pemerintah Indonesia. Dengan adanya investasi asing, terutama yang berkaitan dengan pengolahan sumber daya alam (ex: pertambangan, perkebunan) yang biasanya melakukan operasinya di daerah-daerah pelosok, maka akan ada kewajiban bagi perusahaan asing tersebut untuk mempekerjakan masyarakat sekitar dan kewajiban untuk CSR (Corporate Social Responsibility), sehingga baik ekonomi, pendidikan, akses terhadap berbagai fasilitas seperti jalan raya, listrik, dan lain-lain pada masyarakat di daerah tersebut akan meningkat.

Tiga hal tersebut tentu bukanlah alasan sepele mengapa Indonesia membutuhkan investasi asing, karena efek yang dihasilkan dari ketiga alasan tersebut sangat besar, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Dengan demikian, janganlah melihat investasi asing sebagai sebuah momok yang mengintimidasi kedaulatan Indonesia, karena jangankan Indonesia, negara-negara besar seperti Jepang dan Amerika Serikat pun tidak lepas dari investasi asing.

Jadikanlah investasi asing justru sebagai suatu cara untuk memupuk kemandirian bangsa, sehingg asuatu saat nanti, Indonesia bukan saja menjadi negara sasaran investasi asing tapi juga menjadi negara yang berinvestasi di negara lain.

Rabu, 10 Maret 2010

My First Step..

Ini kali pertama aku nulis di blog, perlu dirayain nih!hahahaha..
Mungkin karena baru ngerasain adanya motivasi buat nulis blog kali yah,hehe..xp

I hope, my blog will give benefits for all the readers..^^

tapi maaf yah klo update nya lama, I'm a moody person,hohoo...